SELAMAT DATANG DI BLOGGER INI, SELAMAT MEMBACA DAN BERIKAN TANGGAPANNYA

BATAL ATAU LANJUTKAN

Sabtu, 05 November 2011

ORANG SANGIR DI MINDANAUW

Asal Usul Kerajaan Sangihe bermula dari Gumansalangi Kulano(Raja) Tampung Lawo abad ke 13 dgn Boki(Permaisuri)Sangiang Konda(Putri Khayangan). Gumansalangi anak Kulano Tumudai kerajaan di Cotabato Mindanao Philipina Selatan degan Permaisuri Bintang Keramat kakak dari Kulano Ternate. Humansandulage dari(Cotabatu) dengan Boki Tenden Sehiwu,pendiri kerajaan Bowontehu di Molibagu abad ke 9 Masehi.

Kedua Kerajaan ini dlm Kakawin Negara Kertagama Thn 1365 olh Empu Prapanca disebut Uda Makataraya dan pulau-pulaunya

Mula pertama orang Indonesia pergi ke Philipina adalah bernama Ampuang berasal dari Sangihe. Ampuang menikah dengan Ruatangkan, mereka dikaruniai anak bernama Datu Tahidumole. Datu Tahidumole menikah dengan Hiabunti, mereka melahirkan Datu Matumama. Datu Matumama menikahi Lalakangbulang lalu melahirkan Ondolilare. Ondolilare menikah dengan Waulana, mereka melahirkan Lapatua. Lapatua menikah dengan Binilangkati, lalu melahirkan Ampuang II. Kemudian Ampuang II menikah dengan Belisehiwu lalu memperanakan anak-anak sebagai berikut :

Balatanggara
Ratu Mangantanusa
Tubu-tubu
Mangingbulang
Manamehe
Tanding bulaeng
Tikase
Bawu Raupang dan
Lamanaowa.

Balatanggara, Ratu Mangantanusa, Manamehe, dan Lamanaowa kembali ke kepulau Sangihe, mulai dari pulau Balut/Marulung, Saranggani/Saranganeng hingga ke daratan pulau Sangihe Besar. Manamehe memiliki sebuah batu keberuntungan. batu tersebut sampai saat ini masih ada di Marulung.

Tubu-Tubu pergi ke Bolang Itang. Mangingbulang pergi ke Sulu. Tandingbulaeng, Tikase, dan Bawu Raupang tinggal di Mindanao. Bahwa pulau Balut disebut Marulong/Marulung artinya dekat Marori daratan. Alkisah bahwa Marulung, Saranggani dahulukala bersambung dengan pulau Mindanao, akan tepi datanglah orang-orang sakti dari kerajaan Tamponglawo (sangihe) dengan menggunakan lenso (saputangan) sebagai perahu, dengan maksud memerangi kerajaan di Mindanao, oleh karena ingin memisahkan diri dari kerajaan Tampunglawo. Orang-orang sakti ini membuat tali (kakandong), mengambil Tempurung kelapa lalu diisi dengan pasir, lalu menarik tempurung dengan tali yang sementara dibuat (kekandongang) dibarengi/disertai dengan ucapan-ucapan(Sasambo), sehingga pulau Mindanao terputus lalu jadilah pulau

Marulung(Balut) dan Saranggani sekarang ini terpisah dari Mindanao. Konon mereka kehabisan bahanbaku (ijuk) dari pohon Seho (Enau) atau dalam bahasa Sangir disebut Kampuhang, sehingga kedua pulau tersebut tak sempat dibawa lebih dekat ke pulau Sangir Besar. Berdasarkan peristiwa ini kerajaan-kerajaan Mindanao menyerah dibawah taklukkan kerajaan Tampunglawo dibawah raja Gumansalangi. Pulau Marulung(Balut) dan Saranggani di persembahkan sebagai upeti kepada kerajaan Tampunglawo, berdasarkan peristiwa ini, maka kedua pulau ini dihuni oleh masyarakat keturunan Sangihe Talaud hingga kini. Sultan Mindanao berasal dari keturunan Gumansalangi. melalui anak bernama Tipuandatu memiliki sebuah jubah yang dinamai menurut namanya “ Tampuan Punta” adalah kulano (sultan) di Mindanao.

Di daerah Tugis terdapat makam Umar Masade, seorang imam Islam dari Tabukan (Sangihe). Menurut cerita makam ini terjadi keajaiban hari demi hari berkemang terus menjadi besar. Umar Masade berasal dari kerajaan Tabukan yang belajar agama Islam di Ternate menurut cerita rakyat bahwa ia pergi ke Mindanao dengan menggunakan sebuah piring besar. Piring ini sering digunakan untuk pergi pulang Tabukan dalam menyebarkan agama Islam pada abad ke 14. terjadi keajaiban . Juga Panurat yang menyebarkan agama Islam di Marulung.

Keturunan generasi ketiga Umar Masade dan Panurate adalah Melanginusa, yang menyebarkan agama Islam di pulau Marulung(Balut) dan saranggani dan Nalikunusa pergi ke semua tempat di Mindanao mereka tidak kembali ke Tabukan keturunan mereka berkembang di Mindanao.

CERITA DALAM LAGU

NEPERKARA MANGINDANO
Neperkara Mangindanauw

Dade su Soang Nyolo

Mangindanauw kinauntungang

Kinawalang niwembang

Reff. I Opo gughu pia bintange masasange

I Opo Gughu pia bintange masasange

Kanangkawahanine dingangu kapiane

Meturung kawanuane


Lagu ini menceritakan seorang putri raja Kolongang di culik oleh pasukan dari Mangindanauw yang dpimpin oleh panglima perang bernama Kinawang. Kemudian raja atau Opo Gughu pergi ke kota Nyolo untuk bersidang disana. Alhasil melalui keputusan sidang yang dipimpin oleh Raja Mangindanaow diputuskan Panglima Kinawalang dibuang lalu di ikat kedua kakinya dan ditarik oleh dua ekor kuda sehingga Kinawalang tewas dengan terpisah kedua belah kakinya serta terbelanya tubuhnya menjadi dua bagian.

BUDAYA BAHARI ETNIS SANGIHE TALAUD

KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE, TALAUD DAN SITARO (SATAS)
Nusa Utara adalah sebutan untuk pulau-pulau di antara sulawesi dan Mindano disebut Sangihe (Suku Sangir dan Talaud). Sangir, Sangil, Sangiresse (Sangihe) adalah nama etnis yang hidup di Indonesia dan Phlipina Selatan. Etnis ini sudah sejak purbakala dikenal oleh bangsa-bangsa luar karena memeliki kehebatan dalam mengarungi lautan. Etimologi Sangir atau Sangihe terdiri dari dua suku kata yaitu berasal dari kata Sangi, Muhunsangi, Sangitang, Masangi yang berarti menangis, tangisan juga Sang dan ir ; Sang merujuk pada Sangiang artinya Putri Khayangan(Bidadari) sedangkan Ir berati air dalam hal ini lautan atau ihe berarti emas, Sejalan dengan tulisan kuno di daun lontar yang dimiliki oleh suku Bugis-Makasar dinyatakan bahwa Utara penuh dengan Emas Permata. Kata Sangir merujuk pada beberapa tempat suku bangsa yaitu di Jawa, Sunda, dan sumatera bahkan di Madagaskar, India, Amerika Latin. Suku bangsa ini memiliki banyak kerajaan seperti terungkap dalam buku Kakawin Negara Kertagama eleh Empu Prapanca pada tahun 1365 disebut Udamakataraya dan pulau-pulaunya dalam terjemahan Moh. Yamin 1969. Oleh orang China (Thionghoa) disebut dengan Shao San. Oleh oleh Portugal dan Spangol di sebut Sang Gil, Jepang menyebutnya San. Suku bangsa atau etnis ini memeliki bahasa yakni Bahasa Sangir/Sangihe. Etnis ini dikenal sebagai suku bangsa pelaut yang terkenal sejak jaman purba-kala karena keberaniannya mengarungi lautan.

Bahasa sangir kaya akan kesusastraan, memiliki bahasa purba contoh berbicara tentang laut. Dalam bahasa sangir Tagharoa berati laut bebas juga berarti laut secara keseluruhan dalam hal ini merujuk pada saat ketika bumi ini belum terbagi dalam beberapa benua atau lautan disebut Benua Pagea dan lautan disebut Panthalusso. Laut disebut juga dalam bahasa Sasahara (bahasa Kuno/Purba Etnis Sangir Talaud)dengan Badoa, Boba, Elise laut yang tidak dalam sehingga nampak(muncul) terumbuh karang, saat ini laut disebut dengan Laude atau Sasi merujuk pada air asin. Ombak dalam bahasa sangir disebut Lua yaitu ombak yang pecah dipinggiran pantai, Bentare menunjuk pada ombak yang pecah dipermukaan air laut dalam (umum), Belade = gelombang yang besar pecah di lautan luas(Tagharoa), Birorong = gelombang yang tidak pecah dilaut antara boba yaitu laut yang bening kebiru-biruan yang dalam dan elise laut dangkal sehing tampak (muncul)terumbu karang, sedangkan arus laut disebut Selihe. Air laut turun disebut Sahe sedangkan air pasang disebut dengan Lanabe. Karang disebut Husso/Russo, Himang, Napong.

Sangihe memiliki berbagai jenis perahu, bahasa sangir saat ini perahu disebut Sakaeng sedangkan bahasa purba disebut dengan Pato, . Jenis perahu terdiri dari : Sikuti, Tumbilung,Dorehe, Sope, Bininta,Konteng, Giope, Pamo, Bolutu, Senta, Lambutem, Dampala, Pelang, Londe, Korakora, Balasoa, Tonda, Niune, Panku/Pantu. Belum termasuk nama-nama perahu yang dikenali dalam bahasa Sasahara: malimbatangeng, bangka, paro, dan dalukang. Bahasa Sasahara adalah bahasa Sangihe yang dipakai khusus oleh pelaut sewaktu berlayar, dan juga dipakai sebagai bahasa Sastra. Dari sekian banyak nama perahu itu, kita dapat mengenali beberapa pinjaman kata dari kebudayaan luar, misalnya sope dan lambuti yang dikenal dalam bahasa Bugis dan Makassar sebagai soppe dan lamboh. Demikian pula panku, bangka, dan bininta yang mirip dengan Panco dan Vinta dari Filipina Selatan dari (Sangil). Bangka sebenarnya adalah nama perahu yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Austronesia (mangkas, wangkang,dansebagainya).Juga bahasa yang disebut Sasalili mis : ular disebut sehari-hari disebut Tempu (kuno Katoang) dlm bahasa salili disebut dengan hamu artinya akar sedang binantang buas disebut dengan Yupung artinya nenek moyang.

Ernst Kausen 2005. Bahasa Sangir termasuk dalam bahasa AUSTRONESISCH/FORMOSA-Gruppe/MALAYO-POLYNESISCH/WEST-MALAYO-POLYNESISCH/PHILIPPINEN/SANGIR-MINHASAN.